Pada tahun 1995 saya masih berumur 17 tahun tepatnya saya
kelas 3 SPP-SPMA Hajimena Bandar Lampung.
pada saat liburan sekolah kami biasa
mengobrol dan bercanda dengan keluarga dan teman-teman lain yang bersamaan
libur disekolah.
Tahun 1995 SMA dikec Sumberjaya baru ada SMA negeri
Sumberjaya, ada satu MTS dan SMP PGRI.
Tehnologi belum secanggih sekarang , belum ada WA Facebook bahkan jaringan telponpun belum ada.
Kalau saya tidak salah kampung kami juga baru masuk listrik
PLN tahun 1995 an itupun kadang hidup kadang mati, bahkan sering matinya ,
dengar-dengar sih overload , jadi harus gantian dengan Kabupaten atau propinsi
lain disumatra pada saat beban puncak, dan itu masih juga terjadi sampai tahun
2015 an walau kami sudah punya PLTA taun
1998
Pada tahun 1990-1995 an karena keterbatasan sarana
pendidikan di tempat kami, kebanyakan dari kami sekolah di kota, ada yang
dibukit kemuning, kota bumi, metro, Bandar Lampung sebagian ada yang dijawa
terutama anak-anak yang masuk pesantren.
Sebagian dari kami terutama Suku Semendo banyak mengirim anaknya
ke Aceh, walau GAM (gerakan aceh
merdeka) masih bersilang sengketa dengan
pemerintah pada tahun 1990 an, bukan halangan bagi kami untuk nyantri di Aceh.
Kiblat Suku Semendo
terhadap aceh soal agama sudah terjadi
sejak ratusan tahun lalu, tetapi semenjak masuknya suku sunda Jawa, sebagian
dari kami ada yang nyantri dijawa apalagi banyak santri dari Jawa yang masuk
kelampung Barat untuk mencari kehidupan.
Ada Nasrullah, ada Amrullah dan saya sendiri ikut nyantri ke
jawa barat tepatnya di pesantren Daruttagwa Cibinong. Berangkatnya kami kejawa
pada tahuan 1989 an juga karena orang tua kami berteman dengan Haji Dayat Haji
Tisna yang anaknya sudah lebih duluan nyantri di Jawa barat dan banyak lagi
yang masuk kebeberapa pesantren Tasikmalaya
danJawa Timur
.
Amrullah Ibunya Meninggal dan dia Akhirnya dia harus pulang
kelampung dan menyelesaikan pendidikan di Pesantren, dia melanjutkan
sekolah di kampung baru kemudian kembali kuliah dibandar di IAIN Bandar
Lampung. sementara saya pada saat tamat Snawiyah balik kelampung Masuk SPP SPMA
Haji Mena, sementara teman kami yang lain masih banyak tersebar diBandar
Lampung , Jawa dan Aceh.
Pada saat kami belum masuk sekolah kami selalu nginap
dikebun ditangah hutan belantara nama tempatnya
matang RIbangan. Dari Desa
Purajaya Masuk ke kampung Sinar Luas terus naik turun gunung , jalan setapak
dan dan perlu waktu 4-5 jam untuk tiba
dilokasi, itu juga termasuk dengan keluarga teman tetangga,.
Tidak heran Desa kami yang sekarang namanya Pekon , sangat
sepi, motor dan mobil jarang lewat, jam 4 saja sudah sepi.
Kami sekeluarga nginap di dangau (rumah kecil dikebun),
biasanya pada saat kekebun setiap keluarga membawa bekal untuk keperluan
satu-atau dua bulan, dari gula, beras, garam dan laian.
Di matang ribangan ada banyak talang, biasanya ada 2-20
dangau , pengelompokan ini biasa didasari pertemanan, keluarga, jadi kita akan bisa saling bantu jika terjadi
apa-apa dan pastinya tidak sepi banget.
Pada saat orang tua tengah kebun kami diajak, terkadang
ditinggalkan bersama tetangga yang lagi isitirahat, atau ada ibu-ibu yang
sedang tidak kekebun tidakdak ada listrik, tidak tv , yang ada hanya radio AM,
biasanya siaran radio BBC menjadi sumber berita petani saat itu.
Oang tua kami akan turun kekampung pada saat bekal sudah
habis. Bapak Biasanya kekampung sambil
menengok rumah . Kebetulan Ibu saya
dalam adat semendo adalah tunggu Tubang, jadi dirumah kami ada nenek, kakek dan
paman yang belum nikah , bahkan adik Ibu yang bungsu usianya 1 tahun dibawah
saya.
Kakek Haji Jawaluddin , adalah tauke kopi (bos kopi) local
era tahun 1960 sampai 1980 an, biasanya setiap hari sabtu dan minggu petani
dari gunung turun ke pasar untuk berbelanja.
Kebetulan pada ta hun1970 sampai 1990an hanya terdapat satu pasar untuk
desa kami dan desa tetanggga dan hanya buka pada hari minggu.
Tidak heran setiap hari minggu adalah hari yang ditunggu
bagi setiap warga Desa purajaya desa Purawiwiitan, desa Budi Sukur, desa Muarajaya
dan semua penduduk gunung matang ribangan, Lebuay, Arum talang senin untuk
berbelanja kebutuhan.
Para pedagang sudah datang sabtu sore, mereka menempati
los-los dipasar , baru pada minggu pagi mereka buka, dan pasar akan berakhir
pada jam 2 siang. Kami pulang,, para
pedagang berkemas pulang kepasar lain.
Hari Senin ada pasar mingguan di daerah Bungin kalau sekarang kec Gedung
surian, bisa anda bayangkan betapa pentingnya bagi kami arti pasaran, apalagi
untuk petani sedang dikebun butuh waktu 4-5 jam hanya untuk berbelanja
kebutuhan pokok , sabun odol micin dan aneka kebutuhan laiinya.
Pada tahun 1990 kakek berhenti sebaga bos kopi , setelah supir truknya
membawa kabur uang hasil penjualan kopi.
Pada saat itu kakek, supir dan Haji Bakri baru pulang dari teluk
betung., mereka sedang makan di restoran, Supir pamit mau keluar kemobil
sebentar kemudian hilang untuk selamanya sampai hari ini.
OH yaa semua kopi
dari Lampung, Bengkulu, Jambi , Palembang semuanya masuk ke Bandar Lampung. Banyak
bos kopi Besar, dari orang eropa, singapura, maupun pribumi yang menjadi pengumpul
besar sekaligus eksportir . Jarak dari kampung kami kebandar Lampung pada tahun 1990
memerlukan waktu 7 -9jam , karena jalan yang tidak terlalu bagus dan memang
jarak tempuh yang jauh.
Pada tahun 90 an ayah kami bernama Hj Jamaani, mecoba dan
belajar menjadi Tauke (bos kopi kecil), yang
hanya membeli kopi dari petani dan menjual kopi kebos kampung yang lebih besar,
tidak sampaila dijual kopi kebandar lampung apalagi eksportir.
Walau hanya bos kecil, bapak punya “anak buah”. (anak buah
disini bukan seperti atasan dan bawahan, tetapi lebih cenderung menjadi Mitra).
Biasanya petani Kopi akan mencari bos, baik bos besar maupun kecil. Tujuannya tidak semata untuk jual kopi,
tetapi juga tempat meminjam uang, beras
juga tempat menitipkan uang atau hasil panen.
Sebagian petani hasil panen tidak langsung dijual bersamaan,
biasanya kopi dititip ke bos kopi, baru pada saat memerlukan dijual. Petani kopi talang senin tidak semua penduduk sumberjaya,
ada juga dari daerah metro, Bandar
lampung, bukit kemuning, bahkan ada yang dari jawa. Mereka akan pulang 1-3 bulan kejawa aau kedaerahnya, kemudian
akan kembali kekebun. Tidak heran ini
membuat relasi yang kuat hubungan antara bos dan anak buah.
Kebetulan rumah kami pas dipersimpangan petani talang senin
pada saat mau keluar kejalan raya, jadi posisi yang pas juga buat bapak unuk
membuka gudang dan jual beli hasil bumi.
Ada seratus petani
talang senin dan sekitarnya yang kemudian menjual kopi kebapak, usaha
bagus petani senang, dan rumah kami selalu ramai pada saat musim panen kopi ,
terutama pda hari sabtu dan minggu, brgitu dengan puluhan tauke atau bos kopi kecil lainnya.
Setelah selesai panen biasanya petani turun gunung pulang
kekampung asal. Kehidupan berjalan normal, relasi social antara suku harmonis,
ekonomi tumbuh, teman-teman kami bisa
sekolah bahkan banyak yang kekota.
IItukah Gambaran Desa kami , sederhana, penuh harmoni dan
tidak banyak ambisi, hidup hanya nerima apa yang diberikan Tuhan dari tahun
ketahun dari hasil panen kopi.
Pada saat jam delapan pagi , kami menyaksikan brimob yang
tak sempat saya hitung, menurut tulisan kuswoyo 2 peleton, 167 polisi
kehutanan, 5 ekor gajah, lewat depan rumah kami. Para orang tua berbisik , para tetangga dan
keluarga gelisah, karena walau sayup sudah terdengar rencana pemerintah,
apalagi kec Bukit kemuning desa Waykora sudah terdengar adanya pengusiran.
Seumuran saya dan kawan-kawan belumlah banyak tahu, pada
saat itu Indonesia masih dizaman kegelapan, tidak ada informasi tidak ada
keberanian, yang adaa adalah satu nada satu irama apa kata pemimpin, kita hanya
bisa tunduk dan mengatakan iya, tidak ada ruang diskusi, karena dindingpun bisa
menjadi mata-mata. untuk lebih lengkap tentang kisah pilu penduduk lampung yang berada dikawasan hutang lindung dari
tahun 1970 sampai 1995 bisa biaca ditulisan kuswoyo.
Pangtue (paman), kakak Bapak datang, karena dia mendapat
kabar bahwa kebunnya dimatang ribangan juga bagian yang harus
ditinggalkan. Nampak muka mereka sedih,
putus harapan, seperti semuanya sudah mati dan gelap entah apa yang akan
terjadi dihari esok.
Dimulai dari Sinar luas, Pak Polisi polhut memberikan
instruksi agar semua petani keluar dari tanah yang katanya tanah
pemerintah. Tak ada waktu untuk berdebat
dan memprotes, siapa melawan dibereskan, ditodongkan senjata, rumah dibakar,
semuanya terjadi begitu cepat.
Di air ringkih desa Bungin, ada yang menyalahkan Tuhan dan
menjadi murtad, memprotes entah harus kesiapa, barangkali jika protes ketuhan,
tuhan tidak langsung menjawab dan mereka bertanya adilkah ini Tuhan.
poto Antara
Entah apa yang dipikirkan orang Jakarta tentang kami,
ahli-ahli kehutanan yang risau karena mereka melihat berdasar citra satelit,
kok hutan sudah berganti pohon kopi.
Jakarta Risau, Jakarta galau, termasuk para rimbawan di departemen
kehutanan, atas nama kehutanan, mereka langsung kasak kusuk, resah dan akhirnya
membuat peta tentang mana kawasan hutan, hutang linddung, hutan konservasi,
berdasar apa yang mereka mau.
Sangking gilangya PEjabat Jakarta pada saat itu mereka
langsung adopsi peta zaman belanda yang dibuat pada tahun 1920-1930 dan mereka
melupakan bahwa Indonesiia sudah merdeka, ada perpindahan penduduk, ada
transmigrasi, ada pertumbuhan penduduk ah bagi mereka pada saat ini manalah
kita para petani dikampung bernilai.
Bodohnya lagi Gubernur Lampung saat itu senada dan seirama,
karena operasi ini berbekal keputusan Gubernur. Hem, menyengsarakan dan
mengusir rakyatpun itu juga ternyata bagian dari Proyek.
Kawan, pada saat itu petani menjelang panen kopi, karena
luasnya lahan dan penduduk yang harus diusir dari hutan, para petugas terus memotong pohon kopi dengan
sinsau, para polisi mengawasai sementara gajah menghancurkan rumah-rumah
penduduk yang memang hanya kayu.
Walau gajah sudah
dididik, bisa diatur, mereka juga bersedih, pernah gajah ngambek dan menangis,
melihat ibu-ibu tua yang memohon agar rumahnya jangan dihancurkan. Bukannya empati yang didapatkan daari
petugas, malah langsung dibakar.
Luasnya areal pengusiran, sebagian petani yang belum
pohonkopinya ditebang, meminta izin untuk panen yang terakhir kali, bukannya
izin yang didapat, tetapi hasil panen yang sudah didapat dirampas jika
ketahuan, ataupun jika nasib baik, bisa bagi dua dengan petugas kehutanan dan
polisi yang bertugas saat ini.
Ribuan petani turun, Rumah kami penuh, depan belakang rumah
ada tenda pengungsi . Bersiap pulang kekampung bagi yang punya rumah, dan bagi
tidak punya gelisah, hendak kemana kaki akan melangkah.
Teman-teman seangkatan saya yang masih sekolah, mulai keluar
satu persatu, mengikuti jejak orang tua, ada yang kerui, ada yang Mesuji , jambi dan Bengkulu
mencari penghidupan yang baru.
Itulah juga orang Semendo yang tinggal dilampung pada tahun
1995 an mulai merantau ke Jawa, bekerja di Pabrik, jadi kuli atau jadi preman,
jadi penjahat semuanya berkat Para penguasa yang hatinya sudah hilang. Bahkan pada tahun 1995-1998 penduduk di kec
SUmberjaya berkurang menurut data statistic.
Jauh-jauh datang dari Bandung, Subbang bekasi Tasikmalaya,
Joga, Jawatimur demi sebuah kejayaan semuanya sirna, mimpi Soekarnopun untuk
melihat Sumberjaya sebagai tempat baru untuk penghidupan baru, ternyata
dirampas oleh Presiden Berikutnya Presiden Soeharto, dan Gubernur Lampung waktu
itu yang mengeluarkan surat Operasi Jagawana diLampung Utara pada tahun 1994.
Manalah ada harganya
rakyat pada waktu di mata penguasa, mana
ada rimbawan yang membela , mana ada kampus yang teriak, sampai hari ini masih menjadi
misteri, siapakah yang yang bertanggung jawab , biarlah Tuhan yang Membalas,
derita hamper 20000 ribu petani diseluruh Lampung.
1998, titik balik, era reformasi ,jatuhlah Soeharto yang begitu
berkuasa dan ini membuktikan bahwa kekuasaan tak abadi, 3 tahun selepas dia
mengusir kami Tuhan menunjukkan bahwa dia harus terusir dari kekuasaan, tepat
pada saat itu saya kuliah di IPB dan menjadi pelaku sejarah bersama ratusan
ribu mahasiswa .
Tulisan sebuah kenangan yang saya ingat tentang operasi gajah atau jagawana istilah Rimbawan, tahun 1995.