Idul Fitri bukan  alasan DPR-DPRD, Bupati, Gubernur, Menteri Dan laiinya   Untuk Mencuri

Idul Fitri bukan alasan DPR-DPRD, Bupati, Gubernur, Menteri Dan laiinya Untuk Mencuri


uri.Bulan puasa sebentar lagi habis, bulan mulia yg melatih kita menahan Hawa Napsu, setan-setan diikat, hiburan dibatasi, semuanya menjadi media latihan bagi kita untuk menjadi lebih baik.
Perayaan hari kemenangan ini juga menjadi tradisi bagi kita untuk menyenangkan keluarga, kerabat dan teman dengan hadiah yg kadang diluar kemampuan.

Dari baju anak-anak yg harus baru, memberi orang tua, adik dan kakak semuanya terkadang membuat kita sulit untuk tidak memberi walau sebenarnya kita  tidak mampu.

Tdak heran Banyak kawan-kawan politisi mempunyai beban berat untuk memberikan THR bagi tim sukses, yg akhirnya kasak-kusuk mencari dana, agar tim sukses tetap loyal dan kembali menjadi bagian dari kampanye berikutnya.

Istilah memelihara jaringan menjadi kekuatan politisi agar terus bertahan, tetapi itu semua tidak gratis dan ada biaya yg tidak sedikit agar jaringan utuh.

Kawan kita anggota DPRD daerah , bercerita betapa rumitnya setiap menjelang lebaran, gaji dan tunjangan pun tidak cukup untuk memenuhi permintaan THR bagi konstituen dan tim sukses.
Beliau sibuk cari dana sana-sini bahkan rela berhutang  demi menjaga harga diri beliau sebagai anggota dewan yg tidak pelit.

Dibilang tidak ada juga susah, yg ada dibilang pelit dan kacang lupa dari kulitnya, inilah buah simalakama bagi para politisi jujur yg tidak pandai mencari celah.

Berbeda lagi dengan kawan dikampung kami, karena cukup pandai mencari celah mencari uang, dia tidak pusing, bahkan sekarang dia menjadi bakal calon bupati.

Ada juga kawan yg anggota DPR pusat, ini lebih gila lagi, dari wartawan, kawan-kawan seperjuangan dipusat dan daerah juga sama meminta angpau lebaran.

Dengan gaji 150 juta, itu jauh dari cukup untuk membiayai itu semua, caranya dari 3 bulan sebelumnya sudah harus menyiapkan kebutuhan THR dari pusat sampai daerah.

Jadi korupsi  para politisi tu rumit, karena memang biaya yg harus dikeluarkan sangat tinggi, tinggal tergantung pilihan, jika jujur dan  hidup sederhana, jangan harap terpilh kembali, jika tidak jujur hanya takdirlah yg menyelematkan seseorang tertangkap tidak dia oleh KPK.

Jadi politisi itu pilihan,  jika yg dikejar jabatan, jangan harap ada kejujuran, yang ada adalah kecurangan, jika yg dikejar amanah, barangkali kita akan dianggap aneh dan jadi manusia langka.

Bukankah Nabi Muhammad sudah mengingatkan : Bahwa sesunguhnya orang-orang yang memegang agamanya dengan sunguh-sunguh akan terasingkan”.

Jadi bagi para pejabat , anggota DPR/DPRD lebih baik menjadi anggota dewan yg dilupakan tim sukses , oleh kawan-kawan, dari pada harus memberi tapi dari hasil korupsi.

JIka takdir kaliah terpilih maka itu tidak sulit, tapi jika sebaliknya, itulah yg terbaik, jangan dengarkan bisikan tim sukses, konstuen yg terus meminta , karena bisa jadi mereka sedang menjerumuskan kita menjadi bagian dari bangsat di negeri ini.


Korupsi Sudah Menjadi Budaya, Mungkinkah di hilangkan?


                 Sumber gambar http://cdn-.tstatic.net/palembang/foto/bank/images/pelaku-korupsi.jpg   

Korupsi kata –kata yg dibenci tapi dirindu sebagian besar mungkin 60% dari kita  ketika ada kesempatan untuk melakukan.

Sulit kita lepas dari korupsi dinegeri ini, system sebagus apapun seperti tidak mampu mencegah dan menakuti kita dan sebagian besar pejabat dan penyogok  dinegeri.

Kita jenuh dengan berita penangkapan seperti tak pernah ada rasa takut,  ribuan politisi dari tingkat kabupaten sampai ketua Partai dari laki-laki yg banyak omong sampai politisi perempuan Damayanti yang tak pernah kedengaran suaranya ternyata juga maling. 

Itu orang hebat, belum lagi dengan birokrasi, dari menteri agama yg hapal Quran sampai walikota Santun Dada Rosada (walikota Bandung ) ternyata juga sama.  Kelurahan juga sama, birokrasi yg tidak ramah, kecamatan yg Sok kuasa, semuanya membuat kita tidak berkutik kecuali kita berani memberikan  sesuatu untuk segala urusan kita.

Tidak usah jauh, KTP yg katanya gratis, sampai sekarang kita sulit mendapatkannya, bahkan adik saya yg pindah dari lampung ke Bandung dengan mengikuti prosuder hampir enam bulan tidak dapat kTP karena tidak ada Blanko.

Pada saat ada blanko ada dipimpong dari RT, Kecamatan terus dan terus, sampai akhirnya dibilang habis, walau akhirnya dapat pada bulan 6- 2016 itupun dengan memberi tips hamper 250 ribu dari ktp dan KK.

Itu ditingkat bawah, coba kita kepolsek, minta surat kehilangan, betul polisi tidak minta tapi entah kenapa kita membiasakan memberi entah 10 sampai 20 ribu sebagai tanda terimakasih.
Rakyat memberi, Polisi juga diam seakan membenarkan bahwa itu adalah kebiasaan yg tidak melanggar hukum.  Entah siapa yg harus memulai, yg satu menyalahkan pemberi, sisi  lain rakyat  menyalahkan Penerima yg malu untuk menolak.

Perlu upaya ekstra dari kita semua, bukan hanya konsensus tapi harus dimulai dari aparat, karena ada istruksi, ada pimpinan yg bisa langsung memberikan perintah, ada hokum, itu bisa jika diawali dengan bersihnya penerimaan polisi dan aparatur pemerintah dari budaya sogok.

Bukankah sudah menjadi tradisi bahwa masuk polisi itu tidak gratis, begitu juga dengan PNS, semuanya diawali dengan cara yg buruk, niat yg buruk dan hasilnya sudah pasti buruk.
Pendidikan anti korupsi yg sudah membudaya harus dimulai ketika kita mempunyai mimpi yg sama untuk membebaskan Indonesia dari korupsi.

Setelah ada mimpi, langkah mudah berikutnya, memastikan semua orang yg terlibat dalam penerimaan polisi, hakim dan PNS, ABRI dll telponya di sadap oleh KPK, betul-betul diawasi, jangan sampai kecolongan sedikitpun jika perlu kita melibat perguruan tinggi  menjadi bagian dari tes-tes tesebut.

Setelah bersih, pastikan para semua tlp anggota DPRD dan DPR, Bupati walikota dan Gubernur dan pejabat pembuat komitmen juga disadap.  Mungkin kita perlu banyak alatnya tapi itu tetap lebih murah, karena dalam jangka panjang akan bisa membersihkan puluhan ribu pejabat , politisi dari pusat sampai daerah.

Hukuman Maksimal, sama seperti darurat narkoba, semua koruptor yg korupsi diatas 500 juta dihukum mati.  Ini langkah nyata, tinggal kita berani atau tidak.

Jawabanya pasti tidak, karena yg membuat UU adalah para politisi senayan, mana mau mereka membunuh diri mereka sendiri.

Tapi Presiden Bisa mengeluarkan perpu dengan dukungan TNI yg kuat, saya kita ini bisa terjadi, sulit rasanya jjika berharap dari keinginan para politisi yg hanya sibuk berdebat di senayan sambil pegang HP sms sana-sini proyek mana yg ada komisinya.


Revolusi Mental yg dicanangkan oleh Jokowi itu bagus, tapi perlu tindakan nyata, bukan sekedar bualan, jika tidak 5 tahun Jokowi menjabat, cerita pemberantasan korupsi juga akan sekedar menjadi cerita.