Masih pantaskah Jokowi memimpin Periode Ke Dua?

Masih pantaskah Jokowi memimpin Periode Ke Dua?




Saya hampir 12 tahun buka bengkel motor,  pasar kian sepi terasa sejak 1 tahun kebelakang, Pilkada serentak yang dijadikan harapan penopang pertumbuhan ekonomi ternyata juga tidak terasa efeknya.
Percetakan yang biasanya panen raya dikala musim kampanye, saat ini terasa sepi bahkan lebih sepi dari kondisi normal.

Teman-teman dipasar juga mengeluh,  pembeli kian berkurang, pengusaha kecil sudah banyak yang tutup karena modal yang ada sudah kemakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Pertumbuhan ekonomi  betul ada, tapi tidak mampu menopang kebutuhan siklus ekonomi agar  berputar tetap tumbuh dan dirasakan oleh kalangan pedagang kecil  dan masyakarat kelas bawah.

Pemerintah mencabut subsidi listrik, BBM dengan mengacu kenegara Malaysia dan Negara –negara maju karena merasa bagian dari G20, tetapi pada saat yang sama upah minimum mengacu kepada Negara-negara menengah kebawah.

Jokowi yang berasal dari PDIP yang terkenal dengan  pembelaan kepada wong cilik, juga berbalik arah pada saat berkuasa, bakan bau kapitalis terasa lebih tajam dibanding slogan yang ada, hutang luar biasa tapi ekonomi tak terasa.

INiliah realitas anak-anak Indonesia yang berkutat pada kehidupan minimal dan itu  80 persen dari rakyat ini,  tanpa terasa kita  menopang kehidupan konglomerat yang kian tak terkendali penghasilannya.
Mereka menguasai media, opini dibentuk bahwa ekonomi masih baik, sementara rakyat kian kehilangan suara, jangankan untuk berteriak, bersuara saja sudah susah.

Blusukan, istilah tenar pada periode Pemerintahan Jokowi sangat baik jika benar-benar merasakan apa yag dirasakan rakyat, tetapi jika blusukan hanya euphoria , hanya sekedar pencitraan, maka yang terjadi adalah sebaliknya, terasa dekat tapi sangat jauh. 

Tentu geliat okonomi sangat tergantung terhadap kebijakan, bukan kebajikan, kerena kewajiban pemimpin membuat suasana dan harmony dinamis dan ekonomi mengeliat atau tumbuh 

Nawacita, ideal tapi jauh dari harapan, reforma agraria ada tapi jalan bagai siput hamper 4 tahun kepemimpinan Jokowi.  Soal Hukum , kasus  novel merupakan salah satu sisi gelap dari penegakan hukum di zaman Jokowi, korupsi masih tinggi, demokrasi  ada tapi tak  lebih dari demokrasi logistik.

Belum Nampak sketsa yang nyata akan dibawa kemana Indonesia, yang rame adalah saling adu, saling ribut, polisi dibikin sibuk oleh hal-hal sepele.

Industri kecil tidak tumbuh, tapi malah tumbang oleh impor, Indeks rasio gini yang katannya turun tapi rasanya jauh dari harapan, masih berlaku kisah lama yang kaya makin kaya yang susah makin susah.

Revolusi mental belum Nampak nyata, itu dapat dilihat dinternal pemerintahan , korupsi merajalela, demokrasi hanya kata, bukan akses yang rata terhadap sumberdaya.

Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan dan akses yang akses pendidikan yang muncul malah kredit buat dana pendidikan, apa ngak gila coba, belumlah tentu kita dapat kerja wh sudah dibebeni hutang karena ide sang Presiden.

 Sederhana kepemimpinan tidak hanya tampilan, tetapi hati, empati dan rasa kasih.  Keadilan bukan tidak tegas, tetapi ketegasan untuk semua golongan, bukan karena kanan maka keras, kalau merah agak melambai, itu bukan keadilan.

Kalau Guntur ramli tak diapa-apakan, kalau roky gerung dipermasalahkan, ucapan sama, jadi persamaan diatas hukum untuk seluruh rakyat masih sangat jauh, itu juga karena yang satu merasa di sebelah, istilah Pak Jokowi untuk orang yang tidak memilih saya?.  Harusnya pada saat pemilu usai Jokowi untuk semua, baik bahasa, tindakan maupun hukum.

Tentu kita ingat adik ipar Jokowi yang jadi makelar pajak, sampai hari ini belum jelas kabarnya, yang lain sudah tersangka , sementara keluarganya seperti terlupakan.

Nawacita mudah diucapkan, mudah dibuat janji, tapi susah dilaksanakan dan itu hanya akan menjadi cerita Indah untuk bunga tidur  dan pada saat kita bangun kita masih dikasur yang sama. 
Lantas masih pantaskah Jokowi periode berikutnya, itu semua ada ditangan kita?.